Tag Archives: Aqidah

Hukum Merayakan Valentine

Gambar

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Akhir-akhir ini telah merebak perayaan valentin’s day -terutama di kalangan para pelajar putri-, padahal ini merupakan hari raya kaum Nashrani. Mereka mengenakan pakaian berwarna merah dan saling bertukar bunga berwarna merah.. Kami mohon perkenan Syaikh untuk menerangkan hukum perayaan semacam ini, dan apa saran Syaikh untuk kaum muslimin sehubungan dengan masalah-masalah seperti ini. Semoga Allah menjaga dan memelihara Syaikh.

Jawaban
Tidak boleh merayakan valentin’s day karena sebab-sebab berikut:

Pertama: Bahwa itu adalah hari raya bid’ah, tidak ada dasarnya dalam syari’at.

Kedua: Bahwa itu akan menimbulkan kecengengen dan kecemburuan.

Ketiga: Bahwa itu akan menyebabkan sibuknya hati dengan perkara-perkara bodoh yang bertolak belakang dengan tuntunan para salaf.

Karena itu, pada hari tersebut tidak boleh ada simbol-simbol perayaan, baik berupa makanan, minuman, pakaian, saling memberi hadiah, ataupun lainnya.

Hendaknya setiap muslim merasa mulia dengan agamanya dan tidak merendahkan diri dengan menuruti setiap ajakan. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala melindungi kaum muslimin dari setiap fitnah, baik yang nyata maupun yang tersembunyi, dan semoga Allah senantiasa membimbing kita dengan bimbingan dan petunjukNya.

Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin, tanggal 5/11/1420 H yanq beliau tandatangani.

HUKUM MERAYAKAN VELAENTINE’S DAY

Oleh
Al-Lajnah Ad-Da’ imah lil Buhuts Al-‘Ilmiyah wal Ifta’

Pertanyaan
Al-Lajnah Ad-Da’ imah lil Buhuts Al-‘Ilmiyah wal Ifta’ ditanya : Setiap tahunnya, pada tanggal 14 Februari, sebagian orang merayakan valentin’s day. Mereka saling betukar hadiah berupa bunga merah, mengenakan pakaian berwarna merah, saling mengucapkan selamat dan sebagian toko atau produsen permen membuat atau menyediakan permen-permen yang berwarna merah lengkap dengan gambar hati, bahkan sebagian toko mengiklankan produk-produknya yang dibuat khusus untuk hari tersebut. Bagaimana pendapat Syaikh tentang:

Pertama: Merayakan hari tersebut?
Kedua: Membeli produk-produk khusus tersebut pada hari itu?
Ketiga: Transaksi jual beli di toko (yang tidak ikut merayakan) yang menjual barang yang bisa dihadiahkan pada hari tersebut, kepada orang yang hendak merayakannya?
Semoga Allah membalas Syaikh dengan kebaikan. 

Jawaban.
Berdasarkan dalil-dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah, para pendahulu umat sepakat menyatakan bahwa hari raya dalam Islam hanya ada dua, yaitu Idul Fithri dan Idul Adha, selain itu, semua hari raya yang berkaitan dengan seseorang, kelompok, peristiwa atau lainnya adalah bid’ah, kaum muslimin tidak boleh melakukannya, mengakuinya, menampakkan kegembiraan karenanya dan membantu terselenggaranya, karena perbuatan ini merupakan perbuatan yang melanggar batas-batas Allah, sehingga dengan begitu pelakunya berarti telah berbuat aniaya terhadap dirinya sendiri. Jika hari raya itu merupakan simbol orang-orang kafir, maka ini merupakan dosa lainnya, karena dengan begitu berarti telah bertasyabbuh (menyerupai) mereka di samping merupakan keloyalan terhadap mereka, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang kaum mukminin ber-tasyabbuh dengan mereka dan loyal terhadap mereka di dalam KitabNya yang mulia, dan telah diriwayatkan secara pasti dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda,

“Artinya : Barangsiapa menyerupai suatu kaum, berarti ia termasuk golongan mereka” [1]

Valentin’s day termasuk jenis yang disebutkan tadi, karena merupakan hari raya Nashrani, maka seorang muslim yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir tidak boleh melakukannya, mengakuinya atau ikut mengucapkan selamat, bahkan seharusnya me-ninggalkannya dan menjauhinya sebagai sikap taat terhadap Allah dan RasulNya serta untuk menjauhi sebab-sebab yang bisa menimbulkan kemurkaan Allah dan siksaNya. Lain dari itu, diharamkan atas setiap muslim untuk membantu penyelenggaraan hari raya tersebut dan hari raya lainnya yang diharamkan, baik itu berupa makanan, minuman, penjualan, pembelian, produk, hadiah, surat, iklan dan sebagainya, karena semua ini termasuk tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan serta maksiat terhadap Allah dan RasulNya, sementara Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman,

“Artinya : Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaNya” [Al-Ma’idah : 2]

Dari itu, hendaknya setiap muslim berpegang teguh dengan Al-Kitab dan As-Sunnah dalam semua kondisi, lebih-lebih pada saat-saat terjadinya fitnah dan banyaknya kerusakan. Hendaknya pula ia benar-benar waspada agar tidak terjerumus ke dalam kese-satan orang-orang yang dimurkai, orang-orang yang sesat dan orang-orang fasik yang tidak mengharapkan kehormatan dari Allah dan tidak menghormati Islam. Dan hendaknya seorang muslim kembali kepada Allah dengan memohon petunjukNya dan keteguhan didalam petunjukNya. Sesungguhnya, tidak ada yang dapat memberi petunjuk selain Allah dan tidak ada yang dapat meneguhkan dalam petunjukNya selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hanya Allah lah yang kuasa memberi petunjuk.

Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para sahabatnya.

Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’ imah lil Buhuts Al-‘Ilmiyah wal Ifta’ (21203) tanggal 22/11/1420H.

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Penerjmah Musthofa Aini Lc. Penerbit Darul Haq]
__________

Tabarruk yang Dibolehkan dan yang Dilarang

Gambar Taba

Sesungguhnya salah satu faktor dominan yang meyebabkan kesesatan orang-orang jahiliyah pertama, ketika Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam diutus di tengah-tengah mereka, adalah meminta berkah kepada berhala-berhala bagi kepentingan harta, anak, dan jiwa mereka. Beragam bid’ah yang disusupkan ke dalam agama lewat orang-orang zindiq dan kaum munafik, ternyata merupakan sarana-sarana ampuh bagi mereka untuk mengacaukan agama lewat cara pengkultusan para wali dan orang-orang shaleh, serta meminta berkah di makam-makam mereka.

Pada zaman di saat ilmu sudah sedemikian pesat majunya dan tersebar di mana-mana, ternyata perbuatan mencari berkah (tabarruk) terhadap para wali, terhadap kubur-kubur, dan sisa-sisa peninggalan mereka masih saja selalu gencar dilakukan oleh banyak orang. Oleh karena itu, buku ini menjelaskan aqidah yang benar tentang tabarruk sehingga bisa dibedakan manakah tabarruk yang benar dan tabarruk yang tidak diperbolehkan dalam islam.

 A.    Makna dan Hakikat Tabarruk

Imam Al-Baghawy mengatakan kalimat Tabaaraka identik dengan taqaddasa yang berarti suci. Adapula yang mengatakan kalimat tabaaraka sama dengan irtafa’a yang berarti naik. Jadi Al-Mubarak ialah orang atau sesuatu yang ditinggikan atau diangkat

Ibnul Qoyyim Rahimahullah mengatakan bahwa hakikat berkah adalah ketetapan, kepastian, dan keberadaan. Jadi kalimat Baraka Al-Ba’ir artinya ialah unta itu duduk terjerembab., yakni jika ia ada di tanah lapang. Sedangkan kalimat Al-Mabrak ialah tempat yang diberkahi. Berkah adalah perkembangan dan pertambahan, sedangkan tabrik adalah mendoakan supaya berkembang dan bertambah.

Pada dasarnya berkah ada dua macam:

Pertama: Berkah yang merupakan aktivitas Dzat Yang Maha Memberkahi dan Maha Luhur.

Kedua: Berkah yang disandarkan pada Allah, seperti disandarkannya kalimat rahmah dan izzah. Sedangkan bentuk kata kerjanya adalah Tabaaraka. Oleh karena itu berkah ini adalah khusus hanya milik Allah. Allah adalah Dzat Yang Maha Suci Lagi Maha Memberkahi, sedangkan Rasul dan hamba-Nya lah yang diberkahi.

Batasan-batasan yang disebutkan ibnul Qoyyim Al Jauziyah tentang berkah adalah sebagai berikut:

  1. Sesungguhnya semua berkah adalah dari Allah, sebagaimana rizki, pertolongan dan kesehatan. Semuanya datang dari Allah. Janganlah anda meminta keberkahan kecuali hanya kepada Allah karena Allah adalah pemilik dan pemberi berkah.
  2. Benda-benda, ucapan-ucapan,dan perbuaan-perbuatan yang secara syar’i boleh digunakan untuk mencari dan mendapatkan berkah tidak lain hanya merupakan sarana saja, ia bukannya yang memberikan berkah karena yang memberi berkah hanya Allah.
  3. Sesungguhnya mencari berkah dengan menggunakan sesuatu sebagai penyebab atau sarana adalah termasuk perkara agama (syar’i), sehingga yang dijadikan pijakan adalah dalil dan nash-nash yang shahih.
  4. Mencari berkah pada sesuatu untuk mendapatkannya harus dengan cara-cara dan petunjuk dari Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.

 B.      Tabarruk Yang Disyariatkan

  1. Tabarruk kepada diri Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam dan peninggalan-peninggalannya.

Banyak riwayat shahih yang disebutkan dan dibawakan oleh para ulama bahwa diri nabi shallallahu alaihi wasallam yang mulia dan peninggalan-peninggalan beliau baik berupa bagian-bagian tubuh, rambut, keringat, sisa wudhu, pakaian, dan bejana-bejana yang beliau gunakan, semuanya oleh Allah dijadikan ada berkahnya yang bisa menyembuhkan dan diharapkan faedahnya di dunia maupun di akhirat. Dan yang menganugrahkan semua itu tiada lain adalah Rabb pencipta langit dan bumi.

2.      Tabarruk terhadap ucapan dan perbuatan yang disyari’atkan.

Sesungguhnya telah ada ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan yang dapat dijadikan sebagai sarana oleh seorang muslim untuk mencari kebajikan dan berkah, dengan berpegang pada apa yang telah dicontohkan oelh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Diantara bentuk tabarruk terhadap ucapan dan perbuatan yang disyariatkan adalah: berdzikir kepada Allah, membaca al-Qur’an, membaca do’a-doa yang ma’tsur dari nabi, berkumpul untuk berdzikir kepada Allah dalam majelis ilmu, berjihad fi sabillillah di medan perang, menyebarkan dan menyampaikan ilmu, berkumpul untuk makan bersama dengan melakukan adab-adab makan dsb.

3.      Tabarruk terhadap tempat yang disyariatkan

Ada beberapa tempat tertentu di atas muka bumi ini yang oleh Allah diciptakan mengandung berkah yang agung. Barangsiapa berupaya mencari berkah di tempat-tempat tersebut, maka ia akan mendapatkannya dengan izin Allah Ta’ala dan dengan syarat harus benar-benar ikhlas lillah dan tetap mengikuti petunjuk dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Diantara tempat-tempat tersebut adalah : masjid, Makkah, Madinah, negeri Syam, Padang Arafah, Mina, Muzdalifah. Melakukan amalan-amalan sesuai petunjuk nabi baik dalam tata cara pelaksanaan ibadah dan waktunya pada tempat-tempat tersebut akan mendatangkan berkah. Adapun amalan-amalan yang tidak disyariatkan, maka tidak akan ada berkahnya sama sekali pada amalan tersebut. Bahkan hal tersebut masuk ke dalam bid’ah.

4.      Tabarruk terhadap waktu yang disyariatkan

Ada beberapa waktu yang diberkahi, yang oleh Allah secara khusus diberikan tambahan keutamaan dan berkah. Barangsiapa yang mencari kebajikan padanya dengan melakukan amalan-amalan yang disyariatkan, maka dia akan mendapatkan berkah-berkah yang agung dari Allah. Waktu-waktu yang dimaksud adalah seperti hari-hari di bulan Ramadhan, malam lailatul qadr, sepertiga malam terakhir, hari jum’at, hari senin, hari kamis, bulan-bulan haram dan sebagainya. Upaya mencari berkah dalam aktu-waktu tersebut haruslah dengan cara-cara yang disyariatkan sesuai petunjuk dari Allah Ta’ala melalui nabinya yang mulia Muhammad Shallallahu alaihi wasallam.

5. Tabarruk terhadap makanan yang disyariatkan

Diantara makanan yang dicari berkahnya ialah minyak zaitun, susu, jintan hitam, kurma ajwa, cendawan, madu, air zam-zam, air hujan, binatang kuda, binatang domba, dan pohon kurma.

Semua makanan dan minuman yang disebutkan di atas memang mengandung berkah yang tidak Allah berikan pada jenis makanan dan minuman lainnya. Hanya saja, penggunaannya tidak boleh melampaui batas-batas syari’at yang telah digariskan Allah.

 C. Tabarruk Yang Dilarang

Bentuk tabarruk orang-orang jahiliyah

Berdasarkan makna Al Barakah yang artinya pengembangan dan penambahan, maka orang-orang jahiliyah seperti halnya setiap orang suka dan senang jika harta benda, tubuh, suku, anak, dan segala kebutuhan mereka dalam kehidupan ini menjadi berkembang dan bertambah yang merupakan substansi dari berkah. Orang-orang jahiliyah mencari hal itu (berkah) pada hanya dari berhala-berhala mereka, lantaran mereka merasa yakin bahwa berhala-berhala itu sanggup mendatangkan banyak kebajikan dan berhala tersebut diberkahi. Mereka berkeyakinan bahwa berhala-berhala tersebut mempunyai pengaruh atas Allah yang akan mewujudkan keinginan mereka. Maha Suci Allah dari anggapan mereka tersebut.

 Orang-orang jahiliyah dahulu tidak hanya mencari berkah pada patung-patung berhala saja. Mereka juga mencari berkah pada juru kunci atau penjaga berhala.  Selain itu mereka juga beranggapan kuat bahwa senjata-senjata yang mereka pergunakan untuk berperang juga bisa member berkah, dan dengan sebab berkah itulah mereka bisa mengalahkan musuh-musuhnya. Senjata-senjata tersebut digantung di sebuah tempat yang mereka namakan dzatul anwath untuk mendapatkan berkah.

Bentuk tabarruk orang-orang jahiliyah masih diikuti dan ditiru oleh sebagian manusia. Sehingga mereka terjebak dalam kesyirikan yang merupakan dosa yang tidak diampuni oleh Allah jika pelakunya tidak bertaubat dan kembali kepada Allah.

1.      Tabarruk terhadap tempat-tempat dan benda-benda mati yang dilarang.

Bertabarruk pada tempat-tempat yang banyak disebutkan dalam hadits-hadits shahih hanya terbatas pada perkara yang disyariatkan saja, pada perkara yang dicontohkan oleh nabi. Orang tidak boleh mencium jendela-jendela atau bandul-bandul masjid dan mengambil debunya untuk pengobatan. Tidak seorangpun diperkenankan untuk mengerjakan haji di tempat yang tidak disyariatkan sebagaimana kaum rafidhoh berhaji di iran. Tidak diperbolehkan pula menjadikan kubur nabi ataupun kubur-kubur orang shalih lainnya sebagai tempat untuk berdoa dan shalat untuk dicari berkahnya,. Tidak boleh pula yakin terhadap suatu benda bisa mendatangkan manfaat dan madharat sebagaimana batu, pohon dan lainnya sebagaimana berhala-berhala untuk dicari berkahnya. Hal-hal tersebut dilarang dikarenakan hal tersebut bisa mengantarkan pada perbuatan syirik secara terang-terangan. Bertabarruk itu adalah ibadah, dan setiap ibadah tidak bisa dilakukan kecuali ada perintah untuk melakukan ibadah tersebut di tempat-tempat yang ditentukan sebagaimana yang dikabarkan oleh nabi shallallahu alaihi wasallam.

2.      Tabarruk terhadap beberapa waktu yang dilarang secara syariat.

Telah lalu penjelasan adanya berkah pada waktu-waktu khusus yang diberikan oleh Allah berupa amalan yang dilakukan pada waktu-waktu tertentu yang pelaksanaannya telah dijelaskan dengan gamblang oleh Rasulullah. Adapun mencari berkah dengan amalan-amalan tertentu pada waktu-waktu tersebut yang tidak dicontohkan adalah termasuk perbuatan bid’ah yang diada-adakan.

Orang-orang yang ghuluw dalam mencari berkah terhadap waktu ini membuat hari-hari atau waktu-waktu tertentu untuk mencari berkah yang asalnya tidak ada satupun dalil yang mendukung akan adanya berkah pada waktu-waktu yang mereka tetapkan seperti menetapkan perayaan untuk awal tahun hijriyah, perayaan hari kelahiran nabi, perayaan isra mi’raj, perayaan hari-hari pertempuran Perang Badar. Yang kesemuanya merupakan bid’ah dalam agama dan tentunya setiap perkara bid’ah adalah tercela sehingga tidak ada keberkahan di dalamnya.

3.      Tabarruk terhadap orang-orang shalih dan peninggalan-peninggalannya.

Tabarruk terhadap diri Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam adalah suatu ibadah begitupula peninggalan-peninggalan beliau. Orang-orang yang melakukannya berharap memperoleh pahala dan berkah. Bertabarruk dengan diri seseorang maupun peninggalan-peninggalannya hanya boleh dilakukan terhadap nabi yang mulia, karena kekhususan dan anugerah yang Allah berikan kepada nabi-Nya. Hal ini tidak berlaku bagi orang-orang selainnya seshaleh apapun orang tersebut. Tidak Abu Bakar, tidak Umar, tidak Utsman, tidak Ali dan tidak pula orang-orang shaleh lainnya. Bertabarruk pada orang-orang shaleh maupun peninggalan-peninggalannya merupakan fitnah bagi orang yang mengagung-agungkan maupun yang diagung-agungkan, karena akan muncul suatu pengkultusan individu yang pada gilirannya akan mendorong pada perbuatan syirik dan berbagai bid’ah. Larangan akan hal ini untuk menyelamatkan aqidah seorang muslim yang bertabarruk supaya hatinya hanya bergantung kepada Allah semata, karena hanya Dia lah yang sanggup mendatangkan manfaat dengan berkah dan menolak segala madharat/bahaya dan agar orang tersebut tidak mudah tertipu dan ternodai oleh perasaan kagum yang menyesatkan.

 

Diresume oleh : Ummu Muhammad Ima

Dari buku: Tawassul dan Tabarruk. Syaikh Nashiruddin Al-Albany dan Dr.Ali bin Nafi Al-Ulyany (Pustaka Al-Kautsar; 2000)

Siapakah Ahlul Kitab itu?

Image

Di dalam Al Qur’an kita sering menemukan penyebutan kata-kata ‘Ahlul Kitab’. Berpuluh-puluh ayat bertutur mengenai ahlul kitab, siapakah mereka? Berimankah mereka? Apa karakteristik mereka? Lalu mengapa Alquran banyak berbicara mengenai mereka? Dalam tulisan singkat ini kita mencoba bersama-sama mengurai benang merah dan mencari titik terang agar menjadi jelas wawasan tersebut bagi kita semua, dan memberi manfaat untuk akidah dan muamalah kita.

Siapakah Ahlul Kitab?

Ahlul kitab dalam Al Qur’an adalah kaum Yahudi dan Nasrani, karena kitab suci telah diturunkan kepada mereka dalam wujud kitab sebuah kitab suci, mereka pada dasarnya adalah umat yang membaca dan menulis. Berbeda dengan umat Islam yang merupakan umat penghafal pada asalnya. Itulah salah satunya hikmah Alquran diturunkan secara bertahap melalui lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Penyebutan ahlul kitab yang bermakna kaum Yahudi dan Nasrani juga berlaku secara umum, tanpa ada pengkhususuan kelompok tertentu dari mereka. Berangkat dari sini, dapatlah dipahami bahwa siapa pun yang mengaku sebagai Yahudi ataupun Nasrani, maka dia adalah ahlul kitab apa pun paham teologinya.

Jadi, di sana ada mereka yang berkeyakinan mempersekutukan Allah, ada pula yang tidak, namun mereka tetaplah bukan umat Islam.

Konteks Penyebutan Ahlul Kitab Dalam Al Qur’an

Penyebutan ahlul kitab dalam Al Qur’an selalu memiliki konotasi celaan ataupun hardikan dari Allah Ta’ala kepada mereka. Sehingga sematan tersebut tidak sama sekali mengandung pujian kepada mereka.

{قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ هَلْ تَنقِمُونَ مِنَّا إِلاَّ أَنْ آمَنَّا بِاللّهِ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلُ وَأَنَّ أَكْثَرَكُمْ فَاسِقُونَ}

Artinya: “Katakanlah: ‘Hai Ahli Kitab, apakah kamu memandang kami salah, hanya lantaran kami beriman kepada Allah, kepada apa yang diturunkan kepada kami dan kepada apa yang diturunkan sebelumnya, sedang kebanyakan di antara kamu benar-benar orang-orang yang fasik?” (QS. Al Maidah: 59)

{يَاأَهْلَ الْكِتَابِ لِمَ تَلْبِسُونَ الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُونَ الْحَقَّوَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ }

Artinya: “Hai Ahli Kitab, mengapa kamu mencampur-adukkan yang haq dengan yang bathil, dan menyembunyikan kebenaran, padahal kamu mengetahuinya?” (QS. Al Imron: 71)

{قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لِمَ تَصُدُّونَعَن سَبِيلِ اللّهِ مَنْ آمَنَ تَبْغُونَهَا عِوَجاً وَأَنتُمْ شُهَدَاء وَمَا اللّهُبِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ }

Artinya: “Katakanlah: ‘Hai Ahli Kitab, mengapa kamu menghalang-halangi orang-orang yang telah beriman dari jalan Allah, kamu menghendakinya menjadi bengkok, padahal kamu menyaksikan?” Allah sekali-kali tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Imron: 99)

{قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لِمَ تَكْفُرُونَبِآيَاتِ اللّهِ وَاللّهُ شَهِيدٌ عَلَى مَا تَعْمَلُونَ }

Artinya: “Katakanlah: ‘Hai Ahli Kitab, mengapa kamu ingkari ayat-ayat Allah, padahal Allah Maha menyaksikan apa yang kamu kerjakan?” (QS. Al Imron: 98)

Hukum Ahlul Kitab

Sebagaimana yang telah tersebut di atas, bahwa ahlul kitab bukanlah kaum muslimin. Hal ini merupakan perkara konsensus yang disepakati dalam agama Islam, tidak dapat diingkari oleh seorang pun yang memeluk Islam. Untuk mempertegas hal ini baiklah kiranya kita mengemukakan alasan-alasan berikut ini:

1. Al Qur’an dan As Sunnah telah menghukumi mereka sebagai kaum kafir.

{يَاأَهْلَ الْكِتَابِ لِمَ تَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللّهِ وَأَنتُمْ تَشْهَدُونَ }

Artinya: “Hai Ahli Kitab, mengapa kamu kafir kepada ayat-ayat Allah, padahal kamu mengetahui (kebenarannya).” (QS. Al Imran: 70)

((والذي نفس محمد بيده لا يسمع بي أحدمن هذه الأمة يهودي ولانصراني ثم يموت ولم يؤمن بما أرسلت به إلا كان من أصحاب النار))رواه مسلم.

Artinya: “Demi dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya. Tiada seorang pun dari umat ini yang mendengar seruanku, baik Yahudi maupun Nasrani, tetapi ia tidak beriman kepada seruan yang aku sampaikan, kemudian ia mati, pasti ia termasuk penghuni neraka” (HR. Muslim)

2. Kesepakatan kaum muslim yang telah berlaku: ijmak ataupun konsensus, bahwa ahlul kitab adalah kafir

Imam Ibnu Hazm berkata, “Mereka bersepakat bahwasanya Allah ‘Azza wa Jalla adalah satu-satunya tiada sekutu bagi-Nya, dan Islam adalah agama yang tiada di muka bumi agama (yang sah) selainnya, ia merupakan pengganti atas seluruh agama sebelumnya, tiada satu agama pun yang datang setelahnya untuk menggantikannya. Dan barang siapa yang telah sampai padanya hal ini lantas menyelisihi maka ia adalah orang yang kafir, kekal di neraka selamanya.” (Maratibul Ijma’: 172-173)

Imam Ibnu Taimiyyah berkata, ”Barang siapa beranggapan bahwa kunjungan golongan dzimmi (penganut agama non-Islam) ke gereja-gerejanya adalah suatu ibadah kepada Allah, maka ia telah murtad” (Al Iqna’: 4/298).

Berkata Imam Al Hijjawi, ”Orang yang tidak mengkafirkan seseorang yang beragama selain Islam seperti Nasrani atau meragukan kekafiran mereka atau menganggap mazhab mereka benar, maka ia adalah orang kafir.” (Al Iqna’: 4/298).

3. Unsur kekufuran terbesar adalah mempersekutukan Allah dalam akidah mereka

Kaum Nasrani mempercayai konsep teologi trinitas, sedangkan kaum Yahudi juga mempercayai Uzair sebagai anak Allah.

{لقدكفر الذين قالوا إن الله هو المسيح ابن مريم وقال المسيح يا بني إسرائيل اعبدوا اللهربي وربكم إنه من يشرك بالله فقد حرم الله عليه الجن ومأواه النار وما للظالمين منأنصار. لقد كفر الذين قالوا إن الله ثالـث ثلاثة وما من إله إلا إله واحد وإن لم ينتهواعما يقولون ليمسن الذين كفروا منهم عذاب أليم}

Artinya: “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, ‘Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam’, padahal Al Masih (sendiri )berkata, ‘Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu.’ Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun. Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan, ‘Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga’, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih” (QS. Al Maidah: 72-73).

{وقالتاليهود عزير ابن الله وقالت النصارى المسيح ابن الله ذلك قولهم بأفواههم يضاهئون قولالذين كفروا من قبل قاتلهم الله أنى يؤفكون}

Artinya: “Orang-orang Yahudi berkata, “Uzair itu putra Allah” dan orang Nasrani berkata: “Al Masih itu putra Allah”. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling?“ (QS. At Taubah : 30).

4. Mereka juga mempersekutukan Allah dalam menentukan aturan agama dan syariat serta mencap stempel halal-haram, semata-mata tanpa dalil.

Mereka mengikuti dan menjadikan para pendeta dan para rahib sebagai Tuhan mereka yang berhak melegalkan hukum apa saja ataupun mengubah aturan apa saja, meskipun itu menyangkut seseorangberada di surga ataukah neraka.

{اتخذواأحبارهم ورهبانهم أربابا من دون الله والمسيح ابن مريم وما أمـروا إلا ليعبدوا إلهاواحدا لا إله إلا هو سبحانه وتعالى عما يشركون}

Artinya: “Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putra Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak adaTuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan“ (At Taubah : 31)

5. Kekufuran yang lain, tidak memercayai agama Islam sebagai agama Allah yang sah, berikut kitab suci Al Qur’an dan kerasulan Nabi Muhammad.
6. Tidak mengakui agama Islam sebagai satu-satunya paham keagamaan universal yang telah menghapus segenap paham keagamaan lainnya, termasuk Yahudi dan Nasrani.

{قليا أيها الناس إني رسول الله إليكم جميعا}

Artinya: “Katakanlah, ‘Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua” (QS. Al Imran: 70)

((والذينفس محمد بيده لا يسمع بي أحد من هذه الأمة يهودي ولانصراني ثم يموت ولم يؤمن بما أرسلتبه إلا كان من أصحاب النار)) رواه مسلم.

Artinya: “Demi dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya. Tiada seorang pun dari umat ini yang mendengar seruanku, baik Yahudi maupun Nasrani, tetapi ia tidak beriman kepada seruan yang aku sampaikan, kemudian ia mati, pasti ia termasuk penghuni neraka” (HR. Muslim).

7. Ahlul kitab secara terang-terangan mengatakan bahwa mereka adalah kaum Yahudi atau juga Nasrani,mereka sama sekali tidaklah mengatakan bahwa mereka muslim.

Jika mereka saja mengakuinya maka kenapa masih ada seorang yang mengaku muslim berusaha menyelisihi hal ini!?

8. Selain itu, jika kita coba beranggapan bahwa ajaran Nabi Musa ataupun Nabi Isa tetap berlaku, meskipun sebenarnya tidaklah demikian.

Maka kita dapatkan bahwa mereka juga telah kufur terhadap apa yang terdapat dalam kitab suci mereka. Sebab, semua ajaran para Nabi itu mengajarkan keesaan Allah secara mutlak tanpa ada sedikit pun unsur sekutu.

Kekhususan Ahlul Kitab 

Penyebutan kaum Yahudi dan Nasrani sebagai ahlul kitab dalam ajaran Islam memiliki beberapa konsekuensi tertentu, yang memberikan perbedaan dan kekhususan tertentu bagi mereka dibanding kaum kafir lainnya. Semua itu berangkat dari kesamaan pedoman awal dalam beragama, yang lebih dikenal sebagai agama samawi yaitu agama yang sumber asalnya adalah wahyu yang diturunkan oleh Allah dari langit. Adapun istilah agama Ibrahimiyah atau agama anak keturunan Nabi Ibrahim banyak digunakan untuk mengelabui tentang agama yang benar. Meskipun kita meyakini dengan pasti bahwa kedua ajaran agama tersebut telah melenceng jauh dari garis pedoman terdahulunya, cukuplah sebagai bukti bahwa ajaran Nabi Musa dan Nabi Isa diturunkan hanya untuk kaum Israel saja, juga pertanda dalam kitab mereka akan kedatangan Nabi Muhammad yang memberi konsekuensi bagi mereka untuk mengikutinya. Ini semua tersebut dalam literatur wahyu keislaman, sedangkan dalam literatur  mereka sudah barang tentu dihapus secara massal dan terencana, meski masih terdapat beberapa isyarat yang terserak di sana-sini. Di antara kekhususan tersebut antara lain sebagai berikut:

1. Adanya ketentuan jizyah bagi mereka berdasarkan konsensus para ulama.

Yaitu bilamana mereka menolak untuk masuk Islam, maka diperbolehkan bagi mereka untuk tetap memeluk agamanya dan berada di bawah naungan sebuah pemerintahan Islam, dengan tetap memperhatikan aturan-aturan yang telah diberlakukan oleh pemerintah serta membayarjizyah dalam kadar dan ketentuan tertentu sebagai jaminan. Dan hal ini berlaku bagi mereka secara konsensus, adapun di luar mereka maka mayoritas ulama tidak menganggapnya berlaku, kecuali menyangkut kaum Majusi penyembah api.

{قاتلوا الذين لا يؤمنون بالله ولا باليوم الآخرولا يحرمون ما حرم الله ورسوله ولايدينون دين الحق من الذين أوتوا الكتاب حتىيعطوا الجزية عن يد وهم صاغرون}

Artinya: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk” (QS. Al Maidah: 5)

2. Boleh bagi seorang muslim menikahi wanita ahlul kitab yang baik, jika memang ia mampu membentengi keimananannya.

{والمحصنات من المؤمنات والمحصنات من الذينأوتوا الكتاب من قبلكم إذا آتيتموهن أجورهن محصنين غير مسافحين ولا متخذي أخدان}

Artinya: “(Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik” (QS. Al Maidah: 5)

3. Halalnya sembelihan ahlul kitab bagi kaum muslimin meski tidak disembelih dengan nama Allah

Selama memang hewan tersebut halal. Adapun sembelihan kaum kafir lainnya maka bagi kaum muslimin tetap dihukumi sebagai bangkai yang tidak disembelih sesuai syariat.

{وَطَعَامُالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ}

Artinya: “Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka” (QS. Al Maidah:5)

Di luar apa yang telah disebutkan di atas, maka seluruh hukum yang berkenaan dengan mereka dalam Islam sama persis dengan hukum yang berkenaan dengan kaum kafir lainnya. Seperti tidak diperbolehkan seorang muslim berpindah agama ke agama lain, dan bila tejadi maka pelakunya dihukumi sebagai murtad dan berhak diperlakukan dengan hukuman yang disyariatkan terhadap orang yang murtad.

Menjawab Propaganda dan Syubhat

Syubhat 1: terdapat ayat-ayat dalam Alquran yang memberikan pujian kepada ahlul kitab bahkan menyatakan bahwa mereka juga ada yang beriman.

Syubhat 2: terdapat ayat yang menyebutkan bahwa ahlul kitab bukanlah termasuk orang musyrik, seperti misalnya: ﴿لم يكن الذين كفروامن أهل الكتـاب والمشركين﴾ maka kata (من) di sini bermakna sebagian (tab’idh), sehingga orang kafir itu  sebenarnya ada yang kafir musyrik, dan adapula yang sebenarnya tidak musyrik sehingga bisa disandingkan dengan kaum muslim.

Jawaban:

  1. Seluruh ayat-ayat tersebut jika ditilik kembali, maka konteksnya selalu bermuara pada dua hal.
    Pertama: mereka adalah orang yang beriman pada ajaran asli nabi mereka sebelum datangnya risalah Nabi Muhammad.
    Kedua: atau mereka yang kemudian beriman kepada risalah Nabi Muhammad setelah kedatangannya.
    Sebagai contoh dua ayat ini dapatlah diketengahkan:

     

    {وَإِنَّمِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَمَنْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ وَمَاأُنْزِلَ إِلَيْهِمْ خَاشِعِينَ لِلَّهِ لا يَشْتَرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ ثَمَناً قَلِيلاًأُوْلَئِكَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ إِنَّ اللَّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ}

    Artinya: “Dan sesungguhnya di antara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh pahala di sisi Tuhannya. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya” (QS.Al Imron: 199)

    {الَّذِينَ آتَيْنَاهُمْ الْكِتَابَ مِنْقَبْلِهِ هُمْ بِهِ يُؤْمِنُونَ. وَإِذَا يُتْلَى عَلَيْهِمْ قَالُوا آمَنَّا بِهِإِنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّنَا إِنَّا كُنَّا مِنْ قَبْلِهِ مُسْلِمِينَ}

    Artinya: “Orang-orang yang telah Kami datangkan kepada mereka AlKitab sebelum Al Quran, mereka beriman (pula) dengan Al Quran itu. Dan apabila dibacakan (Al Quran itu) kepada mereka, mereka berkata: ‘Kami beriman kepadanya, sesungguhnya  Al Quran itu adalah suatu kebenaran dari Tuhan kami, sesungguhnya kami sebelumnya adalah orang-orang yang membenarkan(nya).” (QS. Al Qashash: 52-53)

  2. Adapun ayat yang mengesankan seolah-olah ada kafir tapi tidak musyrik, maka bisa dijawab sebagai berikut. Pertama: bahwa kata (من) di situ bukan bermakna sebagian melainkan bermakna yaitu (bayan), maksudnya orang-orang kafir berupa ahlul kitab dan kaum musyrik.
    Kedua: bahwa ayat itu jelas menyebut mereka sebagai kafir yang berarti bukan Islam.
    Ketiga: pada surat yang sama Allah menyebutkan tempat kembali mereka, “Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahanam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk” (QS. Al Bayyinah: 6).
    Keempat: Allah juga dengan tegas mengatakan bahwa mereka berbuat syirik sebagaimana dalam ayat yang telah disebut di atas, “Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (AtTaubah : 31)

Kepada Kaum Yahudi dan Nasrani

Dalam ajaran Yahudi dan Nasrani saat ini, mereka sama sekali tidak memiliki satu pun argumentasi yang bersumber dari literatur ahlul kitab. Karena status literatur-literatur tersebut sama sekali tidak otentik dan tidak dapat dipertanggungjawabkan, hal ini dapat diperjelas sebagai berikut:

  1. Tidak adanya manuskrip yang tepercaya, ataupun bisa dipastikan kebenarannya sebagai catatan asli.
  2. Perbedaan-perbedaan yang sangat banyak, fatal dan kontradiktif antar teks-teks literatur tersebut.
  3. Tidak terdapat kesepakatan ataupun konsensus yang menjustifikasi keaslian literatur terebut. Hal inilah yang dalam Islam disebut sebagai ijma.
  4. Buramnya urut-urutan sejarah perjalanan literatur tersebut dari sejak ia diwahyukan hingga zaman ini. Hal ini menyebabkan seluruh langkah crosscheck menyeluruh menjadi mustahil.
  5. Rentang waktu antara penulisan pertama dan waktu disampaikannya wahyu sangat jauh, dan tidak dapat dikonfirmasi.
  6. Tidak terdapat sama sekali sistem sanad yang hanya menjadi satu-satunya keistimewaan agama Islam. Yaitu rantai periwayatan dari sang pembawa wahyu hingga zaman ini. Terlebih seluruh mata rantai tersebut dapat dicek kredibilitasnya masing-masing, sehingga ajaran agama terjaga dari kemungkinan salah tafsir, salah riwayat, ataupun penyusupan ajaran-ajaran tertentu.

Semua hal di atas bukan hanya klaim sepihak belaka, namun juga diakui oleh orang-orang dalam tubuh Ahlul Kitab sendiri. Sehingga sama sekali tidak dapat dijadikan sandaran dalam berargumentasi apalagi dalam berkeyakinan yang menyangkut keselamatan dunia dan akhirat.

Sebagai penutup, kitab suci Al Qur’an telah menyeru ahlul kitab untuk kembali menuju jalan yang benar, mengikuti apa yang disampaikan oleh Nabi Musa ataupun Nabi Isa; berupa tauhid alias keesaan Allah dan kewajiban mengikuti syariat seorang nabi penutup para Nabi yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman,

{قل ياأهل الكتاب تعالوا إلى كلمة سواء بيننا وبينكم ألا نعبد اللهإلا وحده ولا نشرك به شيئا ولا يتخذ بعضنا بعضا أربابا من دون الله}

Artinya: “Katakanlah, ‘Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah.’ Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: ‘Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)” (QS. Al Imron: 64)

Referensi
  • Alquran Alkarim
  • Majmu’ Fatawawa Rasail, Syeikh Al-Utsaimin. Dar Alwathan & Dar Atsuroya, cet: terakhir 1413H.(soal-jawab ke-386)
  • Marotibul Ijma’, Imam Ibnu Hazm. Darul Kutub Al Ilmiyyah, Beirut.
  • Al Iqna’, Imam Al Hijjawi. Darul Ma’rifah, Beirut.
  • Man hum ahlulkitab? Silsilah Nur ‘Ala Darb, Syeikh Bin Baz.http://www.binbaz.org.sa/mat/10557
  • Hal yuthlaqu ‘alaahlil kitab shifatul kufr? DR. Abdullah Al Ahdal.http://www.saaid.net/Doat/ahdal/122.htm
  • Hal hunaka farqbayna ahlil kitab wal musyrikin? Syeikh Abdurrahman bin Nashir Al Barrak. http://ar.islamway.net/fatwa/35185

—-

Penulis: Muhammad Izzi bin Masmuin As-Samaronjy
Murajaah: Ust. Sanusin Muhammad Yusuf, Lc, M.A
Artikel Muslim.Or.Id

Nabi Isa pun Seorang Muslim

Gambar

Disusun Oleh ; Ust Muhammad Abduh Tuasikal

Perlu diketahui bahwa agama setiap para Nabi itu satu, yaitu Islam. Nabi Isa pun seorang muslim, beragama Islam. Karena ajaran para Nabi itu satu, yaitu ajaran Islam untuk mentauhidkan Allah.

Agama Seluruh Nabi adalah Islam

Islam adalah agama seluruh nabi dan rasul sebagaimana yang Allah beritakan tentang bapak para nabi, Ibrahim yang menjadi teladan bagi alam semesta. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَرْغَبُ عَنْ مِلَّةِ إِبْرَاهِيمَ إِلَّا مَنْ سَفِهَ نَفْسَهُ وَلَقَدِ اصْطَفَيْنَاهُ فِي الدُّنْيَا وَإِنَّهُ فِي الْآَخِرَةِ لَمِنَ الصَّالِحِينَ (130) إِذْ قَالَ لَهُ رَبُّهُ أَسْلِمْ قَالَ أَسْلَمْتُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ (131) وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (132) أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ آَبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ (133)

“Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang shaleh.

Ketika Rabbnya berfirman kepadanya: “Tunduk patuhlah!” Ibrahim menjawab: “Aku tunduk patuh kepada Rabb semesta alam”.

Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Yakub. (Ibrahim berkata): “Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam“.

Adakah kamu hadir ketika Yakub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Rabbmu dan Rabb nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishak, (yaitu) Rabb Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya”.” (QS. Al Baqarah: 130-133)

Setiap Nabi diperintahkan untuk menyampaikan pada umatnya mengenai ajaran tauhid. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Rabb yang berhak disembah melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku“.” (QS. Al Anbiya’: 25)

Agama para Nabi yang satu yaitu Islam disebut pula dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, dia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنَا أَوْلَى النَّاسِ بِعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ ، وَالأَنْبِيَاءُ إِخْوَةٌ لِعَلاَّتٍ ، أُمَّهَاتُهُمْ شَتَّى ، وَدِينُهُمْ وَاحِدٌ

“Aku adalah orang yang paling dekat dan paling mencintai Isa bin Maryam di dunia maupun di akhirat. Para nabi itu adalah saudara seayah walau ibu mereka berlainan, dan agama mereka adalah satu.” (HR. Bukhari no. 3443 dan Muslim no. 2365)

Dalam riwayat Muslim disebutkan,

« أَنَا أَوْلَى النَّاسِ بِعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ فِى الأُولَى وَالآخِرَةِ ». قَالُوا كَيْفَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « الأَنْبِيَاءُ إِخْوَةٌ مِنْ عَلاَّتٍ وَأُمَّهَاتُهُمْ شَتَّى وَدِينُهُمْ وَاحِدٌ فَلَيْسَ بَيْنَنَا نَبِىٌّ »

“Aku adalah orang yang paling dekat dan paling mencintai Isa bin Maryam di dunia maupun di akhirat.” Para sahabat bertanya, “Bagaimana bisa seperti itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Para nabi itu adalah saudara seayah walau ibu mereka berlainan, dan agama mereka adalah satu. Dan tidak ada di antara kita (antara Nabi Muhammad dan Nabi Isa) seorang nabi.”

Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Makna hadits ini adalah pokok agama mereka -para nabi- adalah satu atau sama yaitu tauhid, meskipun cabang-cabang syari’at mereka berbeda-beda.” (Fathul Bari, 6: 489).

Jika demikian, Nabi Isa ‘alaihis salam pun beragama Islam.

Kesesatan Ajaran Nashrani

Kalau dikata bahwa ajaran Nabi Isa ‘alaihis salam itu sama yaitu Islam, berarti penyimpangan akidah yang terjadi saat ini pada Nashrani adalah dari ajaran yang mereka buat-buat sendiri dan tidak lagi ajaran Isa ‘alaihis salam yang murni yang Allah turunkan. Akidah mereka yang dibuat-buat adalah akidah trinitas, di  mana meyakini dalam diri Isa adalah putera, ruh kudus dan Tuhan. Jadi tiga zat sekaligus ada dalam satu jiwa.

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ajaran trinitas pada Nashrani adalah ajaran  yang tidak pernah diajarkan dalam kitab yang Allah turunkan, tidak disebutkan dalam kitab injil atau kitab lainnya. Bahkan yang ada adalah kontradiksi dengan ajaran tersebut. Juga jika dipandang, keyakinan trinitas tidak masuk akal. Bahkan sangat bertentangan dengan akal sehat. Begitu pula perkataan para Nabi bertentangan dengan hal itu, juga benar-benar bertentangan dengan syari’at agama mereka. Jadi ajaran tersebut adalah ajaran bid’ah yang dibuat oleh orang Nashrani, bahkan Nabi Isa -‘alaihis salam- pun tidak mengatakannya.” (Al Jawabush Shohih liman Baddala Dinil Masih, 1: 28).

Keyakinan Nashrani yang sesat tersebut nampak jelas pada firman Allah Ta’ala,

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلَّا إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. ” (QS. Al Maidah: 73).

Nabi Isa pun membantah akidah trinitas sebagaimana disebut dalam ayat,

وَإِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ أَأَنْتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي وَأُمِّيَ إِلَهَيْنِ مِنْ دُونِ اللَّهِ قَالَ سُبْحَانَكَ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أَقُولَ مَا لَيْسَ لِي بِحَقٍّ إِنْ كُنْتُ قُلْتُهُ فَقَدْ عَلِمْتَهُ تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلَا أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ

“Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: “Hai Isa putera Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: “Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah?.” Isa menjawab: “Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakan maka tentulah Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib-ghaib.”  (QS. Al Maidah: 116)

Agama Nashrani yang ada saat ini bukanlah agama yang murni dari Isa. Umatlah yang merubah ajaran yang murni tersebut.

Jika ajaran Nashrani saat ini menyimpang, apakah pantas seorang muslim mengucapkan selamat natal? Padahal natal adalah peringatan kelahiran anak Tuhan. Namun, demikianlah banyak yang mengucapkan tanpa ada rasa takut pada murka Allah, hanya karena tidak enak pada teman atau rekan, bahkan ada politikus Islam yang mengucapkan “selamat natal” hanya karena ingin dapat suara di pentas politik 2014 nanti. Wallahul musta’an.

Moga Allah beri kita taufik untuk berada dalam akidah yang benar.

Ucapan Selamat Natal, Ada Beda Pendapat?

Gambar

Disusun Oleh : Ust. Muhammad Abduh Tuasikal.

 

Sebagian aktivis dakwah berdalil bahwasanya ucapan selamat natal pada non muslim itu sah-sah saja atau boleh karena terdapat khilaf di antara para ulama. Kata mereka, ada ulama yang membolehkan, ada yang melarang. Padahal beda pendapat seperti ini tidak bisa diterima karena beda pendapat tersebut datang setelah adanya ijma’ (kesepakatan ulama) di masa silam. Sehingga berdalil untuk khilaf (beda pendapat) ulama saat ini dengan alasan kita saling tolerir jika ada beda pendapat dalam masalah fikih, sungguh keliru. Karena ijma’ ulama masa silam bisalah batal jika ada ulama semasanya atau sebelumnya yang menyelisihi ijma’ tersebut, bukan dengan alasan pendapat ulama saat ini.

Masalah Khilafiyah, Benarkah Tidak Perlu Diingkari?

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Jika ada yang mengatakan bahwa masalah khilaf tidak perlu diingkari, maka itu tidaklah benar jika melihat dari sisi ucapan yang dihukumi atau amalan.

Jika ada ucapan yang menyelisihi ajaran Rasul atau menyelisihi ijma’ (kesepakatan para ulama), maka wajib mengingkarinya.

Jika masalah tersebut tidak disepakati, maka boleh mengingkari untuk menjelaskan bahwa pendapat tersebut lemah dan menyebutkan pendapat yang benar dari ulama salaf atau para fuqoha’.

Adapun jika ada amalan yang menyelisihi ajaran Rasul atau menyelisihi ijma’, maka wajib mengingkarinya tergantung pada bentuk kemungkarannya. …

Adapun jika dalam suatu permasalahan tidak ditunjukkan dalil yang tegas, juga tidak ada ijma’, maka berijtihad ketika itu dibolehkan dan tidak perlu orang yang berijtihad dan yang mengikuti diingkari dengan keras. … Dalam masalah ijtihad ini selama tidak ada dalil yang tegas tidak perlu sampai mencela para mujtahid yang menyelisihinya seperti dalam permasalahan yang masih diselisihi para salaf.” (Majmu’ Al Fatawa, 9: 112-113).

Dalam Ucapan Selamat Natal, Ada Ijma’ Akan Haramnya

Sedangkan untuk masalah ucapan selamat natal pada non muslim sudah ada ijma’ di masa silam. Seperti dari perkataan Ibnul Qayyim.

Ibnul Qayyim berkata,

وأما التهنئة بشعائر الكفر المختصة به فحرام بالاتفاق

“Adapun memberi ucapan selamat pada syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti mengucapkan selamat natal, pen) adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama.” Inilah yang beliau sebutkan dalam Ahkam Ahli Dzimmah.

Ucapan selamat natal pun termasuk bentuk loyal pada non muslim. Bentuk loyal pada non muslim pun dilarang berdasarkan ijma’ (kesepakatan para ulama). Kesepatan ijma’ ini di antaranya dinukil oleh Ibnu Hazm dalam Al Muhalla, 11: 138.

Sebagaimana dinukil oleh Ibnul Qayyim, para sahabat melarang kita mendekati peribahan dan perayaan non muslim. Kok malah ada yang dekati dengan mengucapkan selamat?

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak boleh kaum muslimin menghadiri perayaan non muslim dengan sepakat para ulama. Hal ini telah ditegaskan oleh para fuqoha dalam kitab-kitab mereka. Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dengan sanad yang shahih dari ‘Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

لا تدخلوا على المشركين في كنائسهم يوم عيدهم فإن السخطة تنزل عليهم

“Janganlah kalian masuk pada non muslim di gereja-gereja mereka saat perayaan mereka. Karena saat itu sedang turun murka Allah.”

Umar berkata,

اجتنبوا أعداء الله في أعيادهم

“Jauhilah musuh-musuh Allah di perayaan mereka.”

Demikian apa yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Ahkam Ahli Dzimmah, 1: 723-724.

Dan tidak diketahui ada sahabat Nabi lainnya, yang menyelisihi pendapat Umar bin Khottob.

Jadi jika ada sebagian aktivis dakwah mengatakan bahwa kalau di negara plural seperti Indonesia, yah jangan pakai fatwa ulama Saudi yang semua warganya Muslim. Alasan seperti ini jelas tanda orang yang tidak berilmu dan tidak paham ijma’.

Kalau dikatakan para ulama sepakat, maka itu berarti ijma’. Dan umat tidak mungkin bersepakat dalam kesesatan, sehingga menyelisihi ijma’ itulah yang terkena klaim sesat. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”(QS. An Nisa’: 115). Jalan orang-orang mukmin inilah ijma’ (kesepakatan) ulama kaum muslimin.

Jika ada ulama belakangan semacam Syaikh Yusuf Qardhawi yang menyelisihi ijma’ dengan membolehkan ucapan selamat natal, maka fatwa beliau adalah fatwa yang keliru.

Masalah Khilafiyah Ada Dua

Sebagaimana kita bisa simpulkan dari penjelasan Ibnu Taimiyah, masalah khilafiyah (beda pendapat) itu ada dua:

1. Masalah yang sudah ada nash (dalil tegas) dari Al Qur’an, hadits dan tidak bisa ditentang, juga terdapat pendukung dari ijma’ (kesepakatan para ulama). Jika dalam masalah ini ada orang yang berpendapat keliru yang datang belakangan dan menyelisihi ijma’ atau menyelisihi qiyas jalii, maka masalah semacam ini boleh diingkari karena menyelisihi dalil.

2. Masalah yang tidak ada nash (dalil tegas) dari Al Qur’an, hadits, ijma’, atau qiyas jalii atau terdapat hadits yang mendukung, akan tetapi diperselisihkan tentang keshahihan hadits tersebut atau hadits tersebut tidak jelas menjelaskan hukum dan bisa dimaknai dengan berbagai pernafsiran. Untuk masalah kedua, perlu adanya ijtihad dan penelitian mendalam tentang hukumnya.

Ibnu Taimiyah berkata, “Masalah ijtihadiyah seperti ini tidak boleh diingkari dengan tangan. Dan tidak boleh seorang pun memaksa untuk mengikuti pendapatnya. Akan tetapi yang dilakukan adalah sampaikanlah hujjah dengan alasan ilmiah. Jika telah terang salah satu dari dua pendapat yang diperselisihkan, ikutilah. Namun untuk pendapat yang lain tidak perlu diingkari (dengan keras).” (Majmu’ Al Fatawa, 30: 80)

Contoh Masalah Khilafiyah

Masalah khilafiyah yang sudah ada nash tegas di dalamnya yang masuk dalam kategori pertama di atas yang jelas menyelisihi dalil dan patut diingkari seperti:

1. Mengingkari sifat-sifat Allah yang Allah telah memujinya sendiri dan telah ditetapkan pula oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pengingkaran semacam ini bisa jadi dalam bentuk takwil yaitu memalingkan dari makna sebenarnya yang tidak sejalan dengan Al Qur’an dan hadits.

2. Mengingkari kejadian-kejadian di masa mendatang seperti tanda-tanda kiamat yang telah dikabarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Contohnya mengingkari munculnya Dajjal dan turunnya Nabi Isa di akhir zaman.

3. Bolehnya memanfaatkan riba bank padahal riba telah jelas diharamkan.

4. Membolehkan nikah tanpa wali.

5. Membolehkan alat musik padahal termasuk kemungkaran sebagai disebutkan dalam dalil Al Qur’an dan hadits. Bahkan para ulama empat madzhab telah sepakat akan haramnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,

وَلَمْ يَذْكُرْ أَحَدٌ مِنْ أَتْبَاعِ الْأَئِمَّةِ فِي آلَاتِ اللَّهْوِ نِزَاعًا

“Tidak ada satu pun dari empat ulama madzhab yang berselisih pendapat mengenai haramnya alat musik.” (Majmu’ Al Fatawa, 11: 576-577)

6. Menyatakan tidak dianjurkan shalat istisqo’ (minta hujan) padahal telah terdapat dalil dalam Bukhari dan Muslim, juga yang lainnya yang menunjukkan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamm dan para sahabatnya untuk melaksanakan shalat tersebut.

7. Pendapat yang menyatakan tidak dianjurkannya puasa enam hari di bulan Syawal setelah melaksanakan puasa Ramadhan.

Termasuk juga dalam hal di atas adalah membolehkan ucapan selamat natal pada non muslim karena sudah ada ijma’ (kata sepakat) ulama dalam hal ini.

Masalah yang masih masuk ranah ijtihad yang boleh kita toleran dalam masalah ini seperti:

1. Perselisihan mengenai apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Allah di dunia.

2. Perselisihan apakah si mayit bisa mendengar pembicaraan orang yang masih hidup ataukah tidak.

3. Batalnya wudhu karena menyentuh kemaluan, menyentuh wanita atau sebab makan daging unta.

4. Qunut shubuh yang dibacakan setiap harinya.

5. Qunut witir apakah dibaca sebelum ruku’ atau sesudahnya.

Jadi jelaslah kapan kita boleh tolerir ketika beda pendapat, kapan kita boleh mengingkari. Semoga jadi nasehat bermanfaat bagi sesama muslim.

Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah pada kebenaran.

Selesai disusun menjelang Ashar di Pesantren Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, 23 Safar 1435 H

Oleh akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Manusia Diciptakan Untuk Beribadah

Image

Kita hidup dunia, bukan hanya untuk makan, banting tulang cari nafkah. Tujuan kita hidup di dunia adalah untuk ibadah dan mentauhidkan Allah.

Sebagaimana dalam ayat (yang artinya), “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat: 56)

Manusia tidak dibiarkan begitu saja dibiarkan di dunia ini tanpa ada perintah maupun larangan.

Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)?” (QS. Al Qiyamah: 36).

Imam Asy Syafi’i mengatakan, “(Apakah mereka diciptakan) tanpa diperintah dan dilarang?”. Ulama lainnya mengatakan, “(Apakah mereka diciptakan) tanpa ada balasan dan siksaan?” (Lihat Madaarijus Salikin karya Ibnul Qayyim, 1: 98)

Jangan jadi Islam KTP, namun masuklah ke dalam Islam secara kaffah (keseluruhan).

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al Baqarah: 208).

Ibnu Katsir menegaskan bahwa maknanya adalah lakukan seluruh ajaran Islam, yaitu berbagai cabang iman dan berbagai macam syari’at Islam.

Orang Islam itu rajin shalat lima waktu. Orang Islam itu anti syirik dan meninggalkan berbagai ritual kesyirikan. Orang Islam itu selalu beribadah dengan mengambil tuntunan Nabi. Inilah prinsip Islam.

Hanya Allah yang memberi taufik.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Continue reading